Sabtu, 11 Mei 2019

Politik Warung Kopi

"Demokrasi", kadang banyak yang memiliki presepsi sendiri tentang definisi kata tersebut. Mulai dari kalangan elit sampai kalangan yang "sulit". Semua membicarakannya, semua menilainya. Tak luput dari sorotan hasil pesta yang baru saja digelar. Mulai yang berotot sampai yang berjenggot.

Ah, itu hanya sebuah prolog untuk memulai sebuah pemikiran. Saat berbicara politik bermacam-macam orang berkata, ada yang mengatakan politik itu kejam, ada yang mengatakan politik itu kotor, ada yang bilang politik itu seni dan masih banyak lagi.

Itulah negeri ini berjuta penduduk, beribu suku dan berbagai bahasa, serta beberapa agama. Membicarakan tentang strategi dan siasat dalam memenangkan dan memikat hati lawan bicaranya. Yang digedung, yang dihalaman rumah, bahkan sampai di warung kopi.

Tapi, bagiku demokrasi paling demokratis adalah warung kopi. Disana semua bebas berbicara, bebas berkata, bebas berpikir sesuai dengan opini mereka. Sebenarnya mereka paham tentang strategi, tapi mereka juga tak mau sesibuk para politisi. Selalu berbicara realita tanpa sebuah dusta diantara kita. Warung itu kini menjadi hangat dengan pembicaraan politik wilayah. Ya, tentang desa yang dia tempati kini bersama dengan keluarga. Politik ini berbicara kekecewaan yang terpendam, meskipun telah disuarakan pada yang berkepentingan dan para penguasa seolah pendengarnya tak tau apa yang sebenarnya diharapkan.

Malam kian larut, dan pembahasan mulai mengerucut pada, "mau dibawa kemana desa kita?"

Berbicara tentang pembangunan, bukan sebuah rahasia lagi bahwa yang mereka bicarakan adalah realita tentang lambatnya perubahan berbasis infrastruktur dan pendukung potensi ekonomi sosial. Membahas pengembangan inovasi dan teknologi, tak ada satu halpun yang bisa dibahas tentang itu. 
Kenapa demikian? 
Teknologi apa yang bisa dibanggakan di desa ini?
Jangankan berbicara terkait tantang revolusi industri 4.0, membahas tentang teknologi renewable energy saja kita tak mampu. Apalagi menuju ke revolusi industri.
Pembahasan kedaulatan, pemberdayaan dan pemanfaatan sumber daya manusia?

Tidak bisa kita pungkiri bahwa, desa ini memiliki beberapa perusahaan besar. Namun apakah tenaga kerja mulai dari tenaga ahli hingga tenaga produksi sudahkah menunjukkan kedaulatan desa atas dampak lingkungan, sosial dan budaya disekitarnya?

Ah..... Mungkin kita sedang mengigau kawan. Berbicara hal yang tak pernah terpikirkan oleh para pemangku kebijakan. Mereka hanya berpikir tentang jasa kerjanya bukan tentang prestasi kerjanya. Banyak anak pribumi berpotensi justru di kebiri agar tak berbicara tentang inovasi dan kreasi. Tak ubahnya semua dibuai dalam diam, dalam kedamaian dan bersenyap dalam kekenyangan. 

Berbagai sudut pandang diutarakan, berbagai sudut pemikiran dikemukakan. Namun, semua hanya selesai diatas meja dan tak ada tindakan untuk penyelesaian yang memperbaiki pemerintahan yang ada.
Pembaca mungkin tau seperti apa kondisi pemerintahan desa kita, tapi inilah kenyataannya. Saat para pemuda ingin menunjukkan prestasi dan kinerja programnya secara nyata namun birokrasi desa yang tak seimbang dalam kerjanya.
Kasi dan kaurnya yang ingin bekerja dengan santai namun memperoleh hak sepenuhnya.

Penutup malam ini yang membuatku berbangga dengan mereka adalah, "Desa Harus Berbenah Diri, Mulai Dari Birokrasi, Sampai Para Pemimpin Tinggi".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar